PENUTUP KEPALA (Antara Ibadah dan Adat)

Penutup Kepala Antara Adat dan Ibadah
Kajian Fatawa al-Muasshalah LBM NU Mesir 2020
(Kelompok A Banat: Mujida, Himma, dan Sarah)

A. Pendahuluan

Mengenakan penutup kepala seperti ‘imāmah atau kopiah adalah suatu hal yang lumrah di kalangan umat islam sebagai pelengkap busana ketika salat, atribut pakaian keseharian, dan keperluan fesyen. Bahkan di Indonesia ia berfungsi sebagai salah satu atribut resmi pemerintahan.

Sehingga semakin lekatlah citra penutup kepala bagi semua kalangan, yang penggunannya terdiri dari beragam elemen masyarakat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dari sinilah muncul berbagai asumsi bahwasanya memakai penutup kepala adalah suatu keharusan yang wajib dilaksanakan, dan juga sebagai tolok ukur kealiman serta kesalihan seseorang.

Menurut sebagian orang, cara berpakaian adalah sebuah indikator sifat pribadi individu yang dapat menunjukkan status dan peran sosial pemakainya. Dengan demikian, ‘imāmah dan kopiah dalam kacamata mereka dapat diartikan sebagai keistimewaan yang mewakili pelbagai simbol, seperti kebijaksanaan, kealiman, ketaatan menjalankan perintah agama, bahkan ada juga yang menganggapnya sebagai simbol bagi orang yang telah menunaikan haji. Namun faktanya banyak orang yang berlindung kepada atribut yang lebih identik dengan cangkang belaka.
Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman yang komprehensif mengenai penggunaan punutup kepala. Lantas, bagaimana pandangan fikih mengenai hal tersebut? Apakah mengenakan penutup kepala hanya sekedar suatu adat dan tradisi atau bahkan bernilai ibadah?

B. Pengertian Penutup Kepala

Penutup kepala adalah sebuah nama untuk elemen atribut pakaian yang dikenakan di atas kepala dengan alasan praktis seperti pelindungan fisik, sebagai hiasan, dan tujuan simbolis atau upacara. Hampir semua negara memiliki jenis penutup kepala yang khas, yang mana desainnya disesuaikan dengan kebudayaan, letak geografis, iklim, kepercayaan, serta keperluan khusus seperti pekerjaan tertentu, dan lain sebagainya.

Dari banyaknya ragam penutup kepala, di sini kami hanya akan mengulas dua macam saja, yakni ‘imāmah dan kopiah. Dinamakan ‘imāmah sebab menutupi seluruh bagian atas kepala dengan sehelai kain. Sedangkan pengertian ‘imāmah adalah pakaian adat orang Arab yang berfungsi melindungi mereka dari teriknya sinar matahari dan debu, karena tempat tinggal mereka yang berada di daerah padang pasir.

Adapun kopiah merupakan suatu atribut yang dililiti oleh ‘imāmah, atau terkadang digunakan salah satunya saja. Sebagai nilai estetika dalam penampilan dan melindungi pemakainya dari panas matahari. Bagi umat islam nusantara, kopiah adalah ciri khas kaum laki-laki, terutama kalangan santri.

C. Dalil Mengenai Penutup Kepala

Dalil yang menunjukkan bahwa mengenakan penutup kepala, khususnya dengan ‘imāmah atau kopiah, hanyalah sebagai produk budaya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dari Mughiroh bin Syu’bah( ) bahwasanya di dalam hadis ini hanya menjelaskan mengenai ahwal nabi mengenakan ‘imāmah ketika berwudu dan beliau mengusapnya beserta ubun-ubunnya. Oleh karena itu dalam hadis ini, tidak mengulas adanya pensyariatan ‘imāmah, akan tetetapi hanya menjelaskan ahwal nabi ketika mengenakan ‘imāmah pada saat berwudu.

 Dan Rasulullah tidak selalu menggunakan ‘imāmah di semua tempat dan keadaan. Akan tetapi beliau mengenakan pakaian sesuai dengan situasi dan kondisi di mana beliau berada, seperti halnya hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Anas yang menjelaskan ketika Rasulullah memasuki Makkah dengan mengenakan perisai dan mighfar, kala itu sedang terjadi peristiwa Fathu Makkah, kemudian beliau mengenakan ‘imāmah setelah itu( ).
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa menutup kepala termasuk dalam kesunahan adalah hadis yang disahihkan oleh al-Hakim bahwa memakai ‘imāmah itu termasuk sunah dengan alasan untuk salat dan memperelok diri( ). Sedangkan hadis-hadis yang mengharuskan menggunakan ‘imāmah atau kopiah itu tidak bisa dijadikan hujah dalam menetapkan hukum, karena semua hadis yang berhubungan dengan ‘imāmah atau kopiah semuanya daif.

D. Pandangan Ulama Tentang Penutup Kepala

Mayoritas ulama berpendapat bahwa memakai penutup kepala termasuk adat seperti makan dan minumnya Rasulullah, dan tidak mengandung makna qurbah, sebab tidak ada hadis targhib wa tarhib yang memuat pembahasan tentang penutup kepala. Dengan demikian, barang siapa yang ingin melakukan maka lakukanlah, dan barang siapa yang ingin meninggalkan maka tinggalkanlah karena perkara tersebut bukanlah suatu hal yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan akan mendapat celaan syariat. Seandainya ‘imāmah dan kopiah termasuk kesunahan, maka bisa dikatakan selendang, sarung, dan gamisnya Rasulullah juga termasuk perkara yang sunah.

Di samping itu, perkara adat mempunyai hukum yang berbeda-beda disesuaikan dengan tempat, waktu, dan keadaan. Sesuatu yang baik di suatu daerah, belum tentu baik di daerah yang lain. Oleh karena itu, seseorang yang hidup di suatu daerah yang penduduknya terbiasa mengenakan ‘imāmah atau kopiah, maka dianjurkan untuk memakainya. Namun seseorang yang hidup di suatu daerah yang tidak terbiasa memakai ‘imāmah atau kopiah, maka tidak dianjurkan untuk memakainya.
Imam Syāthibi di dalam kitabnya al-Muwāfaqot li as-Syāthibi membagi hukum syariat dalam kebiasaan manusia atau adat menjadi beberapa bagian, yaitu:

• Adat Syari’ah: adat yang ditetapkan atau dinafikan oleh dalil syar’i, dalam artian syara’ menyikapi adat tersebut dengan suatu perintah atau larangan.

• Adat Ghoiru Syari’ah: adat yang implementasinya tidak ada ketetapan dan penafian dari syara’, yang terbagi menjadi:

1) Adat Tsabitah: suatu kebiasaan atau adat yang statis, tidak berubah dari zaman ke zaman, seperti makan, minum, dan tidur.

2) Adat Ghoiru Tsabitah: atau disebut sebagai adat mutabadilah yaitu adat yang bersifat fleksibel yang sesuai dengan zamannya, seperti penutup kepala.

Sebagian orang menentang pendapat yang mengatakan bahwa penutup kepala adalah sebuah adat, dengan alasan meninggalkan hal tersebut di depan khalayak umum akan mencederai muruah, oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu pengertian muruah, sehingga dapat diketahui bagaimana muruah itu terjaga atau tidak.

Muruah mempunyai banyak artian, ada yang mengartikan bahwa muruah adalah sempurnanya seseorang dalam kejujuran, bahkan ada yang mengartikan bahwa muruah itu adalah berperilaku sebagaimana akhlak kawan sebayanya, baik dalam berpakaian, cara berjalan, gerakan, dan sifat-sifat lainnya. Adapun pengertian yang paling global adalah mencegah melakukan perkara yang akan dicela menurut ‘urf. Dan semua definisi tentang muruah yang telah disebutkan menunjukkan bahwa membuka penutup kepala itu tidak menghilangkan muruah pada suatu daerah dan kondisi tertentu.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa memakai penutup kepala adalah sebuah kesunahan itu berdasar pada hadis yang disahihkan oleh al-Hakim serta meninjau dari perilaku Rasulullah yang bersifat jibilliyah atau tabiat. Yang mana ketika seseorang melakukannya dan dibersamai dengan niat akan mendapat pahala, dan perilaku tersebut termasuk bagian dari hukum syariat.

Menurut ulama ushul fiqh perilaku Rasulullah terbagi menjadi tiga, yakni khususiyah, tasyri’an, dan jibilliyah. Adapun pengertian dari khususiyah adalah hak istimewa yang dimiliki oleh nabi yang tidak bisa dilakukan oleh siapapun, seperti halnya nabi menikahi sembilan istri. Kemudian tasyri’an adalah perilaku Rasulullah yang beliau lakukan untuk disyariatkan sehingga terdapat hukum sunah di dalam perkara tersebut selama tidak ada amar wajib dan shorih, seperti kesunahan menunggu salat jamaah. Yang terakhir perilaku Rasulullah yang bersifat jibilliyah adalah perilaku Nabi berupa tabiat kemanusiaan, seperti makan, minum, dan tidurnya Rasulullah.

E. Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua hukum mengenakan penutup kepala. Pertama, dihukumi sebagai ibadah berdasarkan hadis yang disahihkan oleh al-Hakim yang mana dilakukan beserta niat itibak. Kedua, dihukumi sebagai adat karena tidak menggunakan hadis daif sebagai hujah dan berdasarkan tradisi dan kondisi masyarakat pada suatu daerah tertentu.

Dengan demikian, mengenakan penutup kepala tidak bisa menjadi barometer kesalihan dan kealiman seseorang. Sebab kealiman seseorang itu dapat diketahui dengan ilmu yang ia miliki.

Write a comment