Pencegah dan Pendorong

KAIDAH:

إِذَا تَعَارَضَ الْمَانِعُ وَ الْمُقْتَضِيْ يُقَدَّمُ الْمَانِعُ

“Jika māni’ (faktor pencegah) dan muqtadlī (faktor pendorong) saling bertentangan, maka māni’ harus didahulukan”.

Penjelasan:

Jika suatu hal atau suatu aktivitas memiliki faktor pencegah dan pendorong, maka faktor pencegah harus didahulukan; sebab dalam mendahulukan faktor pencegah terdapat dar` al-mafāsid (mencegah mafsadat), sedangkan mencegah mafsadat harus didahulukan daripada mendatangkan maslahat.

Mendahulukan māni’ berarti mementingkan dan merealisasikannya. Sehingga māni’ harus didahulukan dalam posisi dan pertimbangannya, tidak dalam masalah waktunya.

Tidak ada bedanya perihal mendahulukan māni’ terhadap muqtadlī antara keduanya terjadi secara bersamaan atau māni’ terjadi sebelum maksud muqtadlī tercapai.

Jika sisi maslahat lebih mendominasi dari pada sisi mafsadat, maka muqtadlī harus didahulukan.

Aplikasi:

Di antara pengaplikasian kaidah di atas adalah:

1-    Mencabut izin operasi dokter yang bodoh, mufti bodoh (mājin).

2-    Melarang wanita salat berjamaah di masjid, jika menimbulkan mafsadat.

3-    Suami dilarang ‘mendekati’ istrinya yang sedang menstruasi.

Pengecualian:

Di antara kasus yang dikecualikan dari kaidah di atas adalah ketika jenazah muslimin tercampur dengan jenazah kafir atau para syuhada, maka wajib memandikan dan menyalati semuanya.

Catatan:

Māni’ harus didahulukan daripada muqtadlī hanya ketika keduanya terjadi dalam satu konteks. Sehingga ketika berbeda konteks, maka masing-masing dar keduanya diberlakukan. Semisal menikahi wanita yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi dalam satu akan sekaligus, maka pernikahan dengan wanita yang boleh dinikahi dihukumi sah, sementara pernikahan dengan wanita yang tidak boleh dinikahi dihukumi batal.

 

Sumber: 

Al-Qawā`id al-Fiqhiyah wa Tathbīqātuhā fī al-Madzāhib al-Arba’ah (1/244-250).

Write a comment