Meminta Bantuan Dari Jin; Upaya Irasional Yang Menghebohkan



Pendahuluan

Belum lama ini dunia maya dihebohkan dengan seseorang yang mengaku memiliki kemampuan spiritual dalam berintraksi dengan makhluk astral (baca:jin). Adalah Ningsih Tinampi, seorang wanita paruh baya dari Jawa Timur yang mengkliam bahwa dirinya bisa mengatasi gangguan dan keluhan yang disebabkan oleh jin.

Ternyata bukan sekedar ujaran belaka, dia mampu membuktikan di depan banyak orang. Seperti mengobati orang yang diganggu oleh jin, kesurupan, stres. Tidak hanya keluhan ghaib saja, beberapa orang yang mengalami gangguan kesehatan fisikpun mendatanginya dengan tujuan berobat. Benar saja, Ningsih Tinampi mampu membuat mereka sembuh dengan waktu yang tidak begitu lama.

Kemampuan yang dimiliki Ningsih Tinampi, banyak dispekulasikan bahwa itu adalah berkat bantuan makhluk halus. Meskipun itu tidak terlontar darinya, namun melihat bahwa Ningsih Tinampi bahkan berani ditayangkan di televisi dan media internet, tentu bukan sembarangan. Yang membuat semakin kontroversial adalah akhir-akhir ini Ningsih Tinampi mengaku dapat berintaraksi dengan ruh nabi, malaikat. Hal yang membuat perbincangan dunia maya semakin hangat.

Seandainya benar adanya bahwa Ningsih Tinampi memiliki kemampuan tersebut berkat bantuan jin atau makhluk halus, tentu sebagai pengkaji syariat sangat perlu mengetahui seluk beluk dan hukum dari perbuatan Ningsih Tinampi tersebut. Bukan saja pengakuannya yang menghebohkan, namun tindakannya menggunakan perantara Jin ini juga sangat patut untuk ditindak lanjuti versi kacamata syariat.

Makhluk apa jin itu?

Jin adalah sebutan bagi mahkhluk halus yang tubuhnya didominasi oleh api dan dia memiliki kemampuan untuk berubah-rubah bentuk. Dalam hal ini dijelaskan oleh Ibnu Mandzur dalam karyanya Lisanul Arob : “Jin secara bahasa diambildari janna-yajunnu artinya menutupi. Karena mereka mempunyai kemampuan untuk mengelabuhi pandngan dan merubah bentuknya.” Juga al-Baydhowi menyebutkan : “Jin adalah makhluk berwujud fisik dan berakal, mereka mampu berubah dari satu bentuk pada bentuk yang lain. ”

Keabsahan keberadaan jin

Keberadaan jin adalah sesuatu yang sudah diketahui secara pasti dari Alquran dan Hadis. Seperti kisah yang disebutkan ketika Nabi Sulaiman hendak memindahkan istana Bilqis dari Yaman ke hadapannya. Ketika itu, dari golongan jin menawarkan kesediaannya untuk memindahkan istana Bilqis ke hadapan Nabi Sulaiman bahkan sebelum Nabi SUlaiman beranjak dari singgasananya. Meskipun dia masih kalah dengan kekuatan oleh Ashif Barkhiya, seorang alim nan cerdas yang mampu melakukan pemindahan istana hanya dalam waktu sekejap mata.

Begitupula ketika Nabi Sulaiman menundukkan golongan jin dengan membuat mereka mengikuti apapun yang diperintahkannya. Seperti membuat benda-benda besar, membangun keajaiaban-keajaiban. Pekerjaan yang golongan manusia tidak mampu melakukan itu semuanya. 

Dari sini, berarti keberadaan jin adalah sesuatu hal yang sudah jelas dan pasti. Oleh karenanya, bagi siapapun yang mengingkari wujudnya jin padahal dia mengerti bahwa itu benar adanya, maka orang tersebut dihukumi kafir. Karena mengingkari hal yang sudah diketahui dalam agama dengan pasti.

Seperti yang diungkapkan oleh penyusun kitab Fathul Muin : “Diantara yang menjadikan kufur adalah mengingkari hal-hal agama yang sudah diketahui dengan pasti. Seperti kewajiban shalat, shalat fardhu adalah lima waktu, membunuh adalah haram, begitujuga minum arak, berzina. Dan hal-hal lainnya. bukan sesuatu yang sudah jelas maknanya namun itu asing terdengar. Seperti ijma bahwa nenek mendapat bagian seperenam dari warisan.”

Hukum meminta pertolongan

Sebagai makhluk sosial, manusia diciptakan tidak mampu hidup hanya dengan dirinya sendiri. Banyak hal dimana dia harus berinteraksi dengan orang lain. Hal ini selain sudah menjadi fitrah dari manusia itu sendiri yang juga ditegaskan dalam Alquran.

Dalam hal ini, syariat memberikan garis besar mengenai interaksi sosial satu dengan yang lain. Hal itu tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia sendiri. Tolong menolong adalah perbuatan yang mulia jika hal itu untuk kebaikan. Namun kebalikannya, tolong menolong menjadi tercela apabila dalam hal yang tidak legal. “Dan tolong menolonglah kalian semua dalam kebaikan dan jangan tolong menolong dalam dosa dan melewati batas.”

Dalam kitab Sulamuttaufiq dijelaskan bahwa “Diantara perbuatan maksiat tubuh adalah tolong menolong dalam kemaksiatan, artinya ketika seseorang tersebut memberikan andil dalam keberhasilan suatu maksiat, dimana andai tidak ada peran orang tersebut maka maksiat tidak akan terjadi. Maka dalam keadaan seperti ini disebut dengan menolong dalam kemaksiatan.”

“Seperti ketika ada seorang Nasrani yang bertanya dimanakah gereja? Dengan dugaan kuat apabila orang tersebut ditunjukkan pada gereja maka ia akan beribadah disana. Maka ini sudah dipastikan menolong dalam kemaksiatan. Berbeda halnya dengan menjual anggur atau kurma kepada orang lain. Dimana ada kemungkinan bahwa orang tersebut akan menjadikannya sebagai arak, namun itu hanya sebatas kemungkinan, bukan dugaan atau dipastikan. Maka dalam kondisi demikian tidak disebut dengan tolong menolong pada kemaksiatan.”

Sehingga dari sini jelas bahwa interaksi dan tolong menolong adalah hal yang sebenarnya netral, hukumnya tidak dianjurkan atau dilarang. Hukum akan berubah sesuai dengan tujuan daripada tindakan tersebut.  

Kaidah : “Lilwasail hukmul maqoshid”

Salah satu kaidah fikih mengatakan bahwa : “Perantara memiliki hukum seperti tujuannya.” Ibnu Qayim dalam kitab I’lamul Muwaqiin menyebutkan bahwa : “Ketika suatu tujuan tidak dapat dicapai melainkan melalui perantara yang bisa menghantarkan padanya, maka perantara tersebut secara hukum mengikuti pada tujuannya. Maka perantara pada keharaman dan maksiat bisa menjadi haram karena itu menghantarkan pada kemaksiatan.”

“Sedangkan perantara ibadah dan taat pada Tuhan bisa menjadi dianjurkan karena itulah penghantar menuju pada tujuan yang berupa ibadah. Sehingga perantara dan tujuan sama-sama perlu dilakukan, pertama dengan statusnya sebagai penghantar, adapun yang kedua dengan statusnya sebagai tujuan.”

Kaidah ini sudah menjadi semacam ijma’ yang diamini oleh para imam, sehingga cukup dengan menyebutkan salah satu yang mengatakannya sudah cukup untuk menarik kesimpunlan bahwa kaidah ini akan selalu terpakai dalam kondisi apapun, bahwa perantara akan sama hukumnya dengan tujuan.

Kafir sebab keyakinan yang salah

Meskipun kedudukan jin adalah tetap seperti manusia, artinya bahwa jin sama dengan manusia dalam sisi berupa makhluk, namun karena jin dianggap sebagai makhluk yang jarang ditemui, maka dalam interaksi dengan mereka, termasuk meminta bantuan atau tolong menolong dengan mereka ini ada yang mengatakan bahwa itu membawa pelakunya pada kekafiran.

Namun sebenarnya semua ini sudah disebutkan secara jelas dalam kitab tauhid. Salah satu penyusun kitab tauhid yang berjudul Syarah Sanusiah : “Bahwa siapa saja yang meyakini bahwa pisau dengan ketajamannya mampu membelah benda, maka orang ini jelas kafir. Karena ia meyakini bahwa pisau tersebut mampu membelah dengan kekuatannya sendiri.” 

“Namun apabila orang tersebut meyakini bahwa pisau bisa membelah karena kekuatan yang diberikan Allah padanya, maka ini tidak benar dan fasik. Adapun keyakinan yang benar adalah pisau bisa membelah adalah karena Allah yang menciptakannya. Mengenai secara kasat mata pisau tersebut membelah, itu tidak lain hanya karena secara adatnya apabila pisau digerakkan maka saat itu juga Allah membelah bendanya.”

Maka sebenarnya sudah jelas bahwa kafir sebab keyakinan itu hanya terjadi apabila orang meyakini bahwa suatu benda di dunia ini bisa berpengaruh dengan dirinya sendiri. Sedangkan selain itu tidak akan menjadikan pelakunya menjadi kafir. Maka tidak ada alasan menuduh kafir pada orang yang memang meminta bantuan pada jin.

Kesimpulan

Setelah melihat semua pemaparan satu persatu di atas, di mana semua itu sebenarnya mengarah pada bagaimana hukum meminta bantuan kepada jin. Maka sudah jelas bahwa mengenai bantuan itu adalah perantara. Sedangkan perantara akan mendapat status hukum sesuai tujuannya. Dan jin adalah makhluk sebagaimana manusia, mereka tidak memiliki kekuatan sama sekali. Allah saja yang memiliki.

Maka meminta bantuan kepada jin akan diperbolehkan jika untuk hal-hal yang tidak mengandung unsur yang dilarang oleh agama. Bahkan bisa malah diharuskan jika itu satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan yang wajib. Tidak ada bedanya antara meminta bantuan kepada manusia dan kepada jin.

Dalam hal ini, salah satu ulama madzhab Hanabilah menjelaskan dalam fatwanya : “Barang siapa yang meminta bantuan jin untuk membunuh, maksiat, hal yang dilarang syariat, maka orang tersebut juga terkena hukum haram. ”Juga pelaku tindakan tersebut tidak akan terkena dampak apapun dalam keimanannya selama dia tetap berkeyakinan dengan hal yang benar. Tidak melenceng atau berubah akidahnya.


Write a comment