Hukum Mencium Kuburan Nabi dan Orang Saleh


Sudah menjadi suatu kebiasaan masyarakat dunia -umumnya, dan Indonesia -khususnya mencium kuburan orang-orang yang sudah meninggal, terlebih orang-orang saleh nan mulia. Akan tetapi juga banyak pro-kontra dalam hukum mencium kuburan tersebut, apakah hal demikian pernah dicontohkan Nabi dan Sahabat? Atau justru masuk ke dalam kategori perbuatan
syirik dan bahkan memengaruhi kemurtadan seseorang? Dalam membedah hukum ini, kami berpegangan pada pembahasan yang ada di dalam kitab Fatawa Almuasholah.

Dalam membahas hukum tersebut, kitab Fatawa almuasalah membaginya menjadi beberapa kerangka. Berikut kerangka pembahasan dalam kitab Fatawa almuasalah:

  1. Apakah permasalahan ini dikategorikan sebagai permasalahan qatiyyat atau zanniyat?

  2. Pendapat yang memperbolehkan beserta dalil penguatnya.

  3. Pendapat yang melarang beserta dalil penguatnya.

  4. Kesimpulan.

Kerangka pertama yaitu, apakah permasalahan ini dikategorikan sebagai permasalahan qatiyah ataukah zanniyah?

Perlu digaris bawahi, dalam membahas hukum ini, diperlukan pembahasan apakah termasuk qathiyah ataukah zanniyah, yang mana berpotensi adanya taarudh dan menyebabkan adanya tarjih di antara beberapa pendapat. Dan pentarjihan diambil dari kuat dan lemahnya pendapat, bukan dari segi keimaman dan kekafiran seperti permasalahan qothiyat yang sebagian besar merupakan permasalahan akidah. Maka dari itu, seorang mujtahid memiliki ranah ijtihad dalam permasalahan ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab Khalaf dalan kitabnya ‘Ilmu ushulil Fiqh :

أما إذا كانت الواقعة التي يراد معرفة حكمها قد ورد فيها نص ظني الورود و الدلالة أو [ظني احدهما] فقط ففيها للاجتهاد مجال.

 Apabila suatu kejadian yang ingin diketahui hukumnya sudah ada dalil dzhonny, baik wurudnya dan dalalahnya, atau salah satunya, maka dalam permasalahan tersebut ada ranah ijtihad seorang mujtahid di dalamnya.

Yang perlu digaris bawahi pula, jangan memandang permasalahan ini hanya dengan menerima pendapat secara mentah tanpa mengkajinya karena tidak berdampak pada akidah seseorang.

Kerangka yang kedua yaitu pendapat yang memperbolehkan mencium kubur atau pusara nabi dan orang-orang saleh, dan pendapat ini yang menjadi pegangan ulama syafiiyah.

Dipaparkan di dalam kitab fatawa almuasalah pendapat Imam An-Nawawi yang mengungkapkan bahwasanya permasalahan ini adalah bidah qobihah makruhah. Lalu dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar maksud pemaparan imam An-Nawawi adalah suatu bentuk mutlak tanpa di-qoyyidkan dengan niat tabaruk. Apabila kita berniat tabaruk, maka hukumnya tidak makruh, akan tetapi diperbolehkan, bahkan disunahkan.

Dalil penguat : menqiyaskan hukum dengan beberapa dalil.

  1. Qoul Umar bin Khattab ra. dalam mencium Hajar Aswad dan sikap sahabat terhadap peninggalan nabi baik berupa baju, rambut, sandal, dll.

Wajhu dalalah : sikap tersebut memiliki kesamaan dalam segi niatnya. Tidak hanya bertabaruk dengan langsung seperti bersalaman atau mencium tangan kaki nabi n orang-orang saleh akan tetapi dengan peninggalannya. Dan juga diqiyaskan dengan menciup benda-benda yang memiliki kemuliaan seperti mushaf, buku-buku ilmu dan hajar aswad.

Diriwayatkan ada seorang sahabat pernah meminta kesembuhan dengan bertabaruk kepada jubah nabi. Dalam hal ini Imam An-Nawawi mempertegas dalam syarh muslim linnawawi  bahwasanya ini merupakan kesunahan.

و في هذا الحديث دليل على استحباب التبرك علي اثر الصالحين

Lalu, mengapa sahabat tdk melakukan hal ini?

Imam Adz-Dzahabi berkata : itu disebabkan karena sahabat hidup sezaman dengan nabi, bisa mencium langsung tangan nabi, bertabaruk dengan air yang digunakan nabi berwudlu. Itu juga disebabkan oleh keyakinan bahwasanya segala perkara yang dulu pernah di sentuh oleh nabi, terdapat berkah. Sebagaimana cerita Abu Hurairah ra. suatu hari meminta Hasan ra. utk menunjukkan bagian mana yang pernah dicium oleh nabi. Lalu Hasan ra. mengisyaratkan bahwa pusarnya pernah dicium oleh nabi, lalu Abu Hurairah mencium pusar Hasan ra. dengan niat tabaruk terhadap atsar nabi dan keturunannya.

Kerangka ketiga, yaitu: pendapat yang melarang beserta dalil penguatnya.

Adapun pendapat ulama yang kedua mengenai permasalahan mencium makam nabi dan orang/orang saleh adalah pendapat yang tergolong pendapat yang lebih condong ke larangan.

Akan tetapi, meskipun berpendapat demikian para ulama tersebut tidak sampai memutuskan hukum permasalahan ini dengan hukum haram ataupun bahkan sampai kafir.

Bahwasanya mencium kubur nabi dan orang-orang saleh merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan beberapa adab ketika ziarah kubur. Dikarenakan mencium kubur di anggap sebagai suatu hal yang dianggap suatu perbuatan yang berlebih-lebihan dan sikap berlebih-lebihan dalam beragama tentunya itu dilarang. Sebagaimana yang di sampaikan dalam kitab fatawa almuasalah ini yang juga berpendapat tidak memperbolehkan dengan alasan yang sama, yaitu kurang beretika. Lantas timbullah bantahan, jika tidak diperbolehkannya mencium kubur nabi dan orang-orang salih karena kurang etika, lantas bagaimana jika melakukan hal tersebut dengan niat tabaruk? Dalam hal ini ulama syafiiyah dan qoul mu'tamad berpendapat, bahwa hal ini tidak di perbolehkan pula, sebagaimana yang telah di jelaskan oleh imam An Nawawi yang ada di dalam kitab minhaj :

(والتزام القبر أو ما عليه من نحو تابوت ولو قبره صلى الله عليه وسلم بنحو يده وتقبيله بدعة مكروهة قبيحة).

Dalam keterangan tersebut, beliau menganggap hal tersebut tergolong dalam bidah makruhah qabihah. Dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa mencium kubur nabi dan orang-orang salih termasuk bidah munkaroh secara syariat, sehingga para ulama yang berpendapat demikian menganjurkan untuk menghindari hal tersebut. Diantar ulama yang menganjurkan untuk menghindarinya adalah Imam Abu Hasan Al-Marzuki dalam kitab Majmu’ syarh muhadzzab:

قال ابو الحسن :واستسلام القبور وتقبيلها الذي يفعله العوام الآن من المبدعات المنكرة شرعا ينبغي تجنب فعله وينبغي فاعله

Yang kurang lebih artinya: "...mengusap dan mencium  Kuburan seperti yang dilakukan oleh orang awam saat ini adalah tergolong bid'ah munkaroh secara syariat, hendaknya untuk menghindarinya dan mencegah orang-orang melakukan hal tersebut".

Dan ada pula ulama yang juga berpendapat demikian dengan alasan mengaitkan mencium kubur nabi dan orang-orang saleh dengan budaya kaum nasrani. Sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Imam Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Said bin Qosin Al-Hallaq dalam kitab mauidhotul mu'minin 

و مستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبلا بوجه الميت و أن يسلم ولا يمسح القبر و لا يمسه و لا يقبله فإن ذلك من عادة النصارى

Yang artinya : "Hal yang disunahkan dalam ziarah kubur adalah berpaling dari arah kiblat dengan menghadap pada wajah mayit, mengucap salam pada mayit, tidak mengusap, tidak pula menyentuh dan mencium kuburan karena hal tersebut adalah bagian dari tradisi kaum nasrani".

Dalam hal ini beliau melarang hal tersebut dengan alasan yang sama. Lantas kemudian para ulama mengangkat hadis

من تشبه بقوم فهو منهم

maka timbullah pertanyaan akan masalah ini, "Jika hal tersebut merupakan budaya kaum nasrani, lalu apakah orang-orang yang melakukan hal ini tergolong dalam orang-orang dalam hadis tersebut?" oleh karena itu ulama yang berpendapat demikian bersepakat untuk tidak melakukannya dan menghindarinya. Akan tetapi perlu ditegaskan kembali, meskipun para ulama dalam hal ini berpendapat demikian dengan hal tersebut meskipun tidak berdampak pada akidah seseorang, tetap saja tidak boleh menerima secara mentah'' setiap pendapat yang sudah di kemukakan tanpa mengkajinya lebih dalam lagi.

Kerangka terakhir; kesimpulan.

Kesimpulan dari permasalahan ini yaitu, meskipun sebagian dari para ulama berpendapat, yang mana pendapat tersebut condong akan suatu hal yang dilarang, seperti pendapat Imam An-Nawawi yang mengatakan hal tersebut sebagai bidah makruhah qobihah, dan pendapat Syekh Zakaria Yahya yang mengutarakan bahwasanya pendapat tersebut tergolong bidah munkaroh secara syariat. Akan tetapi perlu di ingat dan di teliti, konteks pembahasan tersebut masih bersifat umum tanpa mengaitkannya dengan tabaruk. Dan sebagaimana yang di jelaskan tadi, bahwasanya  mencium kubur nabi dan orang-orang saleh tergolong permasalahan yang bersifat  dzonniyat, karena tidak ada dalil dalam permasalahan ini yang mana jika demikian, hal ini tentu memiliki ranah ijtihad yang luas untuk mengetahui hukumnya, yaitu dengan perantara qiyas, istihsan, istishab, urf ataupun maslahah mursalah. Lantas mengapa dengan niat tabaruk diperbolehkan bahkan disunahkan sedangkan para sahabat tidak melakukannya. Tentu dalam hal tersebut dikarenakan para sahabat hidup di zaman yang sama dengan nabi, bertemu langsung dengan nabi, dan tentunya bisa bertabaruk secara langsung dengan nabi dengan cara-carq yang sudah di jelaskan di awal. Oleh karena itu para ulama menganggap mencium kubur merupakan salah satu cara bagi orang-orang yang tidak hidup di zaman nabi dan tidak bertemu langsung dengan nabi untuk bertabaruk sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat akan tetapi dalam cara yang berbeda karena keadaan yang tak lagi sama. Dan sebagai penguatnya, ada pula ulama yang beristinbat hukum bahwa tabaruk dengan orang saleh itu disunahkan. Sebagaimana yang telah di jelaskan dalam sebuah hadis yaitu hadis yang menjelaskan disunahkannya bertabaruk pada atsar orang-orang saleh, yang kemudian di jadikan landasan hukum asal dari sunahnya tabaruk. Oleh karena itu, dalam hal ini ulama berpendapat bahwa makam nabi tentunya termasuk dalam atsar orang saleh dengan meninjau keterangan dari hadis tersebut. Maka dalam hal ini diperbolehkan mencium kubur dengan niat tabaruk.

Apakah tabaruk hanya bisa dilakukan kepada auliya atau juga bisa dilakukan kepada orang-orang biasa, Seperti membelai dan mencium nisan orang tua?

D dalam fatawa annisa karya Syekh Ali Jumah disebutkan bahwasanya orang muslim meyakini bahwa Allah adalah sumber keberkahan dan Allah memberikan keberkahan kepada beberapa hal sebagai perantara untuk kita ber-tabaruk kepadanya, Yaitu:

  1. Waktu yang diberkahi

Ad-Dukhan ayat 3:

إنَّا أَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ

  1. Tempat-tempat yang diberkahi

QS. Al-A’raf ayat 137

وَاَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِيْنَ كَانُوْا يُسْتَضْعَفُوْنَ مَشَارِقَ الْاَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِيْ بٰرَكْنَا فِيْهَاۗ

QS. Al-Isra ayat 1

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

QS. Al-Anbiya ayat 71

وَنَجَّيْنٰهُ وَلُوْطًا اِلَى الْاَرْضِ الَّتِيْ بٰرَكْناَ فِيْهَا لِلْعٰلَمِيْنَ 

QS. Ali Imran ayat 96

اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ

  1. Asykhash. Anbiya dan ahli bait. 

QS. Hud ayat 73

قَالُوْٓا اَتَعْجَبِيْنَ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ رَحْمَتُ اللّٰهِ وَبَرَكٰتُهٗ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِۗ اِنَّهُ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ

  1. Pengikut para nabi dan pengikutnya pengikut nabi

QS. Hud 48

قِيْلَ يٰنُوْحُ اهْبِطْ بِسَلٰمٍ مِّنَّا وَبَرَكٰتٍ عَلَيْكَ وَعَلٰٓى اُمَمٍ مِّمَّنْ مَّعَكَ ۗوَاُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْم

  1. Orang-orang mukmin yang mengikuti jalan Allah.

QS. Al-A’raf ayat 96

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

  1. Ucapan atau doa.

QS. Al-Anbiya ayat 50

وَهٰذَا ذِكْرٌ مُّبٰرَكٌ اَنْزَلْنٰهُۗ اَفَاَنْتُمْ لَهٗ مُنْكِرُوْنَ 

  1. Salam di antara orang-orang mukmin.

QS. An-Nur ayat 61

فَسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُبٰرَكَةً طَيِّبَةً ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ 

Apa perbedaan antara tabaruk dan takzim?

Tabaruk adalah asal kata dari kalimah barakah kemudian diikutkan kepada wazn tafaala yaitu tabarroka. Dan salah satu faedah wazn tafaala adalah  tholabul fi’li yaitu mencari asal pekerjaan yang berarti tabarroka artinya mencari keberkahan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Abuya Muhammad Al-Maliki dalam kitabnya Mafahim yajibu an tusohhah bahwasanya tabaruk termasuk dari suq tawasul sebagaimana kita tahu tawasul adalah hal yang disyariatkan dalam agama Islam. dasarnya adalah

وابتغوا إليه الوسيلة 

Dianjurkan untuk mencari wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu media wasilah adalah tabaruk.

Kemudian, pembagian tabaruk dibagi menjadi 3 hal yaitu tabaruk bil a’yan, tabaruk bil asykhash. Seperti tabaruk dengan rosulullah seperti para sahabat bertabaruk dengan tangan beliau. Kedua Tabaruk bil atsar, yaitu bertabaruk kepada peninggalan orang-orang mulia karena orang-orang mulia memiliki keutamaan. Seperti tabaruk dengan mimbar rasulullah. Yang ketiga, ber-tabaruk dengan tempat-tempt. seperti makkah Almukaromah yang diberkahi karena adanya kabah atau baitul maqdis dan lain sebagainya.

Adapun takzim adalah bentuk mutaadi dari fi’il azhuma yang artinya memuliakan.

Orang tua itu disetarakan dengan takzim kepada auliya, bahkan ada kitab yang menjelaskan bahwa orang tua lebih diutamakan setelah nabi. Jadi, mencium tangan dan kaki orang tua semasa hidup itu dianggap tabaruk sebagaimana hal auliya. Hal ini tentu berlaku juga setelah wafatnya orang tua karena derajatnya yang disamakan dengan auliya, dan tabaruk kepada auliya yang telah wafat juga dianggap sunah.


Write a comment