Ruang Lingkup Bidah Menurut Pandangan Ulama Salaf


Ruang Lingkup Bidah Menurut Pandangan Ulama Salaf

(Kajian Fatawa al-Mu`ashshalah LBM PCINU Mesir 2020 )

A. Pendahuluan

Sudah tidak asing lagi bagi kita, bahwa banyak orang yang salah mengartikan dan gagal dalam memahami definisi, klasifikasi dan eksistensi bidah dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia khususnya, yang terjadi bukan hanya sekedar membidahkan dan menyalahkan ajaran yang menurut mereka salah. Mirisnya, dengan ilmu yang pas-pasan dan hanya menggunakan pemahaman secara tekstual terhadap dalil-dalil tentang bidah, mereka di samping menganggap beberapa kegiatan keagamaan sebagai hal tabu akan tetapi juga mengkafirkan sesamanya.

Ada segolongan orang yang mentradisikan bersalaman setiap selesai salat fardu berjamaah terlebih ketika di masjid. Namun, tak sedikit orang yang tidak melaksanakan tradisi ini karena menganggapnya sebagai bidah yang tidak disyariatkan dalam Islam atau lebih tepatnya mereka memahaminya dengan dangkal pada Hadis yang menunjukkan bahwa setiap bidah adalah sesat. Bahkan banyak riwayat hadis yang menjelaskan bahwa bersalaman atau yang dikenal dengan mushāfahah ketika bertemu dengan seseorang hukumnya adalah sunah. Dan banyak ulama yang berpendapat bahwa bersalaman yang ditentukan oleh waktu hukumnya mubah dan bukan termasuk bidah yang sesat karena tidak menyalahi syariat.

Masalah bidah dianggap tidak dapat dibagi-bagi menjadi beberapa aspek menurut anggapan beberapa pihak yang terhitung masih pemula dalam belajar agama. Namun, akan meresahkan ketika mereka berani naik mimbar. Mereka secara sepihak menggaungkan bahwa dalil dari nas salah satu Hadis Nabi Saw – yang mengatakan bahwa setiap bidah itu perkara sesat – dapat menghukumi sesat segala hal baru yang tidak ada di zaman Nabi Saw. Lucunya, ketika mereka membidahkan suatu perkara dalam masalah ibadah, mereka menolak sangkalan dari orang yang tidak sepaham dengan mereka tentang adanya bidah duniawi berdasarkan dalil yang sama. Padahal, sikap mereka yang menggolongkan dalil yang masih ambigu (umum) tersebut terkonsentrasi pada masalah ibadah, dapat dianggap sebagai sikap membagi-bagi kandungan dari suatu nas.

Oleh karena itu, untuk mengetahui eksistensi bidah yang Rasulullah Saw. maksud, apakah hanya dalam lingkup ibadah saja atau dapat masuk pada perihal adat dan muamalah maka akan dibahas secara rinci dan ringkas.

B. Pengertian Bidah

Bidah adalah perkara baru yang diciptakan tanpa ada dasar syariat tetapi diarahkan secara sepihak bahwa perkara itu merupakan bagian dari syariat. Penjelasan tentang hal ini telah diterangkan oleh Ibnu Mandhur dalam kitabnya Lisān al-'Arab:

“Bidah secara etimologi diambil dari kata bada’a – yabda’u – bid’an yang artinya menciptakan hal baru”.

Bidah dalam ilmu Nahwu sendiri adalah bentuk dari isim hai`ah, yaitu nama untuk bentuk keadaan suatu perbuatan, maka bidah merupakan bentuk suatu perbuatan yang dimunculkan dalam keadaan baru atau permulaan tanpa merujuk pada adanya contoh sebelumnya. Imam Izzudin bin Abdissalam juga menjelaskan definisi bidah secara terminologi dalam penyataan beliau:

“Bidah adalah perbuatan yang belum ada di zaman Rasulullah Saw”.

Alquran juga telah menyinggung tentang bidah yaitu dalam surat Al-Hadid ayat 27 yang artinya: 

“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah”.

Ditafsirkan dalam kitab tafsir al-Qurthūbī bahwa rahbāniyah atau kerahiban tersebut membawa mereka (orang-orang nasrani) pada penderitaan yaitu melarang untuk makan, minum, dan menikah dengan cara mengurung diri atau menyendiri di gua maupun gereja.

C. Klasifikasi Bidah

Tentunya, banyak yang belum mengetahui bahwa ruang lingkup bidah tidak hanya terkonsentrasi pada ibadah saja, melainkan banyak hal lain lagi yang masuk dalam masalah bidah.

 Meninjau definisi yang telah disebutkan, maka perkara bidah tidak terbatas pada hal yang berkaitan dengan ibadah saja. Hal ini dikuatkan dengan adanya beberapa pendapat para ulama yang menjelaskan bahwa bidah itu tidak hanya dalam ibadah melainkan juga masuk pada aspek adat, transaksi, dan perilaku mubah dalam berbagai macam aspek kehidupan manusia.

Syekh Izzuddin bin Abdissalam menjelaskan bahwa bidah itu terbagi menjadi lima yang mencakup adat, muamalah, ibadah, dan perbuatan-perbuatan yang diperbolehkan dalam berbagai aspek kehidupan. Pembagian tersebut berdasarkan 5 hukum-hukum syariat yaitu, wajib, sunah, makruh, haram dan mubah. Beliau mengatakan bahwa apabila bidah tersebut masuk dalam kaidah wajib maka bidah tersebut hukumnya wajib, lalu jika bidah tersebut sesuai dengan kaidah sunah maka bidah tersebut hukumnya sunah, begitu pula seterusnya. Beliau memberikan beberapa contoh dalam klasfikasi bidah : 

a. Bidah Wajib: Mempelajari ilmu nahwu, karena dengan mempelajari ilmu tersebut dapat memahami alquran dan hadis dan hal tersebut sesuai dengan kaidah ushul yang artinya: Sesuatu yang menjadi kesempurnaan hal yang wajib maka hukumnya wajib.

b. Bidah Haram: Mazhab Qadariyah, Jabriyah, Murji`ah dan Mujassimah, serta menyangkal dan menolak mazhab-mazhab tersebut termasuk bidah yang wajib.

c. Bidah Sunah: membangun madrasah, pondok, dan jembatan. Termasuk dalam bidah yang sunah adalah setiap kebaikan yang sudah ada di masa awal, yaitu salat tarawih. Bidah dalam shalat Tarawih hanya pada tata cara dan jumlah rakaat, sedangkan jamaah dan salatnya bukanlah bidah karena Rasulullah Saw. sudah mengajarkan dan mencontohkan kepada para sahabat, hanya saja tidak begitu sering dilakukan secara berjamaah bersama para sahabat agar tidak disangka bahwa salat Tarawih itu wajib. Pendalaman ilmu Tasawuf juga termasuk bidah yang sunah. Sedangkan, mempelajari dasar-dasar ilmu Tasawuf dikategorikan sebagai bidah yang wajib, karena setiap manusia pasti memiliki penyakit hati atau sakit secara rohani kecuali para nabi. Oleh karena itu, obat untuk mengobati penyakit rohani atau jiwa tersebut adalah ilmu Tasawuf.

d. Bidah Makruh: menghias Masjid, memperbagus mushaf dan melantunkan alquran dengan lantunan yang dapat merubah kaidah dalam ilmu tajwid. Namun, menurut pendapat yang paling sahih hal tersebut merupakan bidah yang haram.

e. Bidah Mubah: Bersalaman setelah salat Subuh dan salat Asar. Hukum asal bersalaman adalah sunah ketika bertemu, namun berubah menjadi bidah yang mubah ketika ditentukan waktunya, seperti bersalaman ketika selesai salat subuh dan asar. Juga termasuk bidah yang mubah adalah menciptakan variasi atau inovasi terhadap makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal ini merupakan bidah yang makruh dan yang lain berpendapat bahwa hal tersebut termasuk sunah-sunah yang dilakukan di masa Rasulullah Saw.

Demikianlah pendapat dari Syeikh Izzuddin bin Abdi Salam dalam kitab Qawāid-nya dan dinukil oleh Syekh al-Qarafi dalam kitab al-Furūq.

Ada sebagian ulama yang membagi bidah seperti pendapat tersebut, namun hanya terbatas pada ibadah dan adat saja, yakni pendapat Syekh Ibnu Abidin dalam Hāsyiyah-nya dan Syekh Ibnu al-Hajj al-Maliki dalam kitab al-Madkhal-nya, begitupula contoh-contoh yang ditampilkan dalam pendapat keduanya.
Adapun seperti pendapat Imam asy-Syafi’i dan Syekh al-Manawi dalam kitab Faidl al-Qadīr-nya yang hanya membagi bidah menjadi dua bagian yakni, perkara yang menyalahi alquran, hadis, asar, dan ijmak atau yang disebut dengan bidah mazmumah dan perkara yang tidak menyalahi syariat atau yang disebut dengan bidah hasanah. Dan eksistensi keduanya hanya dalam hal ibadah dan adat (kebiasaan) saja.

D. Dalil Klasifikasi Bidah

Dalil yang menunjukkan bahwa bidah berkaitan dengan ibadah dan adat adalah hadis sahabat Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari ketika orang-orang terbagi menjadi beberapa kelompok dalam masjid untuk melaksanakan salat bersama kelompok mereka masing-masing dan kemudian beliau mengumpulkan pada satu orang dan berkata bahwa hal tersebut adalah sebaik-baik bidah. Bertolak dari hadis tersebut perlu diketahui bahwa bidah terbagi menjadi hasanah dan mazmumah, karena jika tidak terbagi maka tentulah bidah yang sesat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Urbad bin Sariyah: 

“Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah dengan mendengarkan dan mentaati walaupun yang memerintah adalah seorang budak habsyi. Maka barang siapa yang hidup dari kalian setelahku kemudian melihat banyak perbedaan maka berpegang teguhlah kepada sunahku, dan Sunah Khulafa’ al-Rasyidin dan gigitlah dengan gigi geraham. Waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru datang karena setiap perkara yang baru itu bidah dan setiap bidah adalah sesat".

Secara umum, jika melihat Hadis ini maka semua bidah adalah sesat. Namun, terdapat sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir al-Bajali lebih spesifik dalam menjelaskan bidah yakni, bahwa setiap bidah yang tidak mempunyai dasar syariat merupakan bidah yang sesat. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya:

“Barang siapa yang mencontohkan kebaikan maka baginya pahala apa yang dia lakukan beserta pahala orang yang melakukan perbuatannya sampai hari kiamat, dan barang siapa yang mencontohkan keburukan maka untuknya dosa atas perbuatannya dan orang yang melakukan perbuatannya sampai hari kiamat”.

Spesifikasi Hadis tersebut diperkuat oleh Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya dari Hakam bin al-Araj berkata : 

“Aku pernah bertanya kepada Muhammad tentang salat duha yang dilakukan berjamaah sedang beliau sedang menyandarkan punggungnya ke kamar Nabi Muhammad Saw. seraya menjawab: “Ini adalah sebaik-baik bidah”.

Tak luput dari penjelasan tersebut, tentunya perlu memahami terlebih dahulu apa yang dinamakan ibadah dan adat. Imam al-Syatibi dalam karyanya yang berjudul al-I’tishom menjelaskan bahwa ibadah adalah setiap hal yang tidak bisa ditemukan alasan hal tersebut disyariatkan, contohnya : salat, haji, zakat hukumnya wajib, sedangkan sedekah hukumnya sunah dan perkara-perkara ibadah lainnya.

Adapun adat adalah setiap hal yang bisa ditemukan alasan di balik disyariatkannya hal tersebut, seperti, jual beli hukumnya mubah, mencuri hukumnya haram, dan mendatangi undangan walimah hukumnya wajib.

E. Kesimpulan

Setelah melihat semua penjelasan di atas secara rinci, yang semuanya mengarah kepada bagaimana ruang lingkup dari eksistensi bidah. Maka sudah sangat jelas bahwa ruang lingkup bidah tidaklah spesifik dalam masalah ibadah saja, melainkan dapat pula masuk pada perihal adat dan muamalah.

Menurut keterangan di bagian isi, tidak semua hal yang baru adalah bidah yang sesat. Namun, tetap meninjau terhadap hukum yang berkaitan dengan perkara baru tersebut sesuai dengan tinjauan dan klasifikasi dari ulama salaf. Jika berkaitan dengan hukum syariat, maka hukumnya sesuai dengan hukum yang berkaitan, baik dalam ibadah, adat/kebiasaan, muamalah, dan berbagai aspek kehidupan yang lain sebagaimana pendapat Syekh Izzuddin bin Abdissalam dan beberapa ulama yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dan apabila menyalahi syariat maka hal tersebut adalah bidah yang sesat, jika tidak, maka disebut dengan bidah hasanah. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Imam asy-Syafi’i dan al-Manawi dalam kitabnya.  

Ditulis oleh kelompok 3 putra LBM Intensif 20 (Ahmad Zakki Fuadi, Nabil Fikri dan M. Nurkholis).

Write a comment