BUNGA BANK DAN RIBA, MUNGKINKAH BERBEDA?


Pendahuluan

Majemuk telah diketahui bersama bahwasanya dinamika kehidupan menuntut setiap orang untuk selalu berprogres menuju ke arah yang lebih baik. Sebagaimana ungkapan paling terkenal dari avirose, al-insan madaniyatun bi at-thob’i, bahwa manusia berdasarkan instingnya merupakan mahluk yang berperadaban, selalu berubah sesuai dinamika menuju ke arah yang lebih baik. Dewasa ini kebutuhan hidup manusia semakin bervariatif. Gaya hidup masyarakat modern juga mengalami banyak perubahan signifikan, salah satu indikasinya ditandai dengan lahirnya lembaga keuangan perbankan.

Sistem perbankan modern telah mulai ada sejak tahun 1157 Masehi. Adalah Negara Italia yang pertama kali menerepkan sistem ini, tepatnya di Kota Bandak. Kata bank sendiri merupakan kosa kata resmi Bahasa Italia yang bermakna meja, mengacu kepada meja tempat penukaran uang.

Kata tersebut kemudian diserap dan dialih bahasakan oleh banyak negara lain, seperti Indonesia, Inggris dan juga Arab. Dalam Bahasa Indonesia kata bank mengacu kepada; Badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang dalam masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Adapun dalam Bahasa arab, kata bank juga telah diserap sepenuhnya dengan keywordالبنك  sebagai kata tunggal dan البنوك sebagai bentuk pluralnya. Secara sintekis, kata bank dalam Bahasa Arab bersinonim dengan kata الصرف yang memiliki banyak arti secara linguistik diantaranya adalah mengembalikan sesuatu ; juga memiliki makna infak. Adapaun menurut terminologi ulama fikih kata as-Sorf didefinisikan sebagai transaksi antar nilai tukar, baik sejenis ataupun tidak. Termasuk dalam definisi tersebut adalah transaksi antara emas dengan sesama emas, atau emas dengan perhiasan lain yang tidak sejenis.


Pengertian Riba dan Jenis-Jenisnya

Secara etimologi riba bermakna tambahan, sedangan menurut term ulama fikih riba bermakna tukar menukar komoditas tertentu (logam mulia dan makanan) yang tidak seimbang nilainya ketika melakukan akad, atau menunda serah terima salah satau maupun kedua komoditas barang. Komoditas yang terhitung sebagai riba hanyalah emas, perak (baik dijadikan sebagai mata uang, disadur ataupun tidak, seperti emas mentah dan perhiasan) dan makanan (baik dijadikan sebagai makanan pokok, cemilan ataupun obat) 

Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan transaksi barang ribawi adalah:

  1. Sepadan nilainya

  2. Transaksinya selesai saat itu juga (kontan)

  3. يداً بيدٍ

Dari sana dapat dipahami bahwa riba adalah selisih kelebihan yang terjadi pada harga akibat akad pertukaran barang ribawi yang tidak memenuhi syarat. Maka kemudian batasan riba dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Adanya selisih nilai pada salah satu barang yang ditukar saat akad (riba al-Fadl)

  2. Adanya tambahan harga akibat penundaan serah terima kedua barang yang ditukarkan (riba al-Yad)

  3. Adanya tambahan harga akibat salah satu barang tertunda penerimaanya (riba an-Nasiah)

Melihat tentang sejarah keharaman riba sendiri, praktik riba tertua dan telah dikenal sejak masa kehidupan nabi adalah riba nasiah, yang ketika itu lebih dikenal dengan nama riba jahili. Dalam kehidupan modern riba ini memiliki kesamaan dengan praktek bunga kredit, dimana penjual menghutangi barang kepada pembeli, yang kemudian dibayarkan secara mencicil. Jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka sebagai kompensasi pembeli dibebani biaya tambahan. Praktiknya sediri sangat umum digunakan pada masa jahiliyah. Syekh Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan:

رباالنسيئة الذي لم تكن العرب في الجاهلية تعرف سواه، وهو المأخوذ لأجل تأخير قضاء دين مستحق إلى أجل جديد ، سواء أكان الدين ثمن مبيع أم قرضا


“Riba jahiliyah adalah riba yang sangat dikenal oleh masyarakat Arab kala itu, bahkan

Mereka tidak pernah mengenal riba lainnya. Riba ini dipungut karena alasan tertundanya pelunasan hutang sehingga perlu restrukturisasi (baca; penataan kembali) dengan tempo yang baru, baik itu akibat utang karena penundaan pembayaran harga barang yang dibeli atau akibat akad utang piutang.”


Riba dalam hutang (Qord) dimasukan dalam rumpun riba nasiah, karena sama-sama menarik nilai tambah akibat penundaan penyerahan salah satu komoditas. Bedanya jika riba nasiah obyeknya adalah barang, maka riba qord obyeknya adalah uang.

Selanjutnya ketentuan bahwa riba hanya terjadi pada barang ribawi juga menimbulkan polemik. Penamaan ribawi sendiri merujuk pada barang-barang yang masuk dalam kategori tersebut cenderung fluktuatif atau mengalami inflansi harga. Karena sifat tersebut harga barang menjadi tidak stabil di pasaran. Maka terjadilah perdebatan panjang tentang penggunaan uang kertas, apakah ia termasuk barang ribawi ataukah tidak. Sebagian ulama mengkategorikan uang kertas sebagai barang ribawi karena memiliki posisi yang sama dengan uang emas-perak, sebagian yang lain tidak karena menganggap illah ribawi emas-perak adalah sifat jauhariyah-nya, sedangkan uang kertas hanyalah sekadar komoditas yang dicetak.

Sejarah Bank dan Uang Kertas

Agar lebih mudah dalam menentukan hukum sebuah masalah, tentu diperlukan pemahaman yang menyeluruh akan hal tersebut. Begitupun mengenai transaksi perbankan, sebelum menentukan hukumnya kita juga dituntut untuk paling tidak mengetahui sejarah perbankan, juga keterkaitanya dengan asal mula penggunaan uang kertas. Ilustrasi penggambaranya adalah sebagai berikut:

Pada mulanya bank membuka jasa penukaran mata uang bagi mereka yang ingin menukarkan dinar dengan dirham atau sebaliknya, juga berlaku untuk penukaran antar mata uang yang rusak. Transasi tersebut menuntut pihak bank untuk memiliki sejumlah besar kuantitas mata uang. Maka dibuatlah sebuah brangkas besar sebagai tempat penyimpanan mata uang demi memudahkan transaksi tersebut. Melihat tingginya tingkat proteksi brangkas tersebut, banyak khalayak umum mulai tertarik menitipkan uang mereka untuk dijaga oleh bank, dengan upah yang sesuai nominal dan skala jangka waktu penitipan. Pihak bank lalu memberikan sertifikat sebagai bukti kepemilikan barang yang telah dititipkan.

Perbankan melihat skala waktu penitipan nasabah amat lama, bahkan seolah-olah hampir selamanya, karena dalam realitanya nasabah menggunakan sertifikat yang diberikan oleh bank dalam bertransaksi dengan orang lain, sebagai ganti dari mata uang yang mereka titipkan terhadap bank. Kondisi tersebut memberikan dorongan kepada bank untuk membuat paktek baru yakni meminjamkan barang yang telah dititipkan kepada orang lain. Demi memuluskan praktek tersebut, pihak bank memotifasi para nasabahnya dengan memberikan kompensasi berupa peniadaan bea jasa penitipan untuk barang titipan yang telah mencapai nominal tertentu, bahkan mereka juga menjanjikan sebagian hasil yang mereka dapat dari praktek baru tersebut.

Seiring bekembangnya waktu, dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keabsahan sertifikt tersebut, masyarakat mulai menerima sertifikat itu sebagai alat tukar-menukar barang dan jasa. Dari sini dimulailah era penggunaan uang kertas, yang pada mulanya merupakan bukti kepemilikan rasio emas milik perbankan.

Polemik Seputar Perbankan

Dewasa ini bank telah menjadi instrumen terpenting dalam menjalankan roda ekonomi. Sebagai pilar utama sebuah negara yang menguasai mayoritas pasar serta muara investasi, pinjaman juga simpanan masyarakat, bank telah menjelma sebagai agen of trust, tempat di mana nasabah menitipkan kepercayaan juga uang mereka. Seiring berkembangnya zaman, bank telah melakukan banyak deregulisasi dalam fitur layananya agar lebih kompetitif dan fleksibel. Pemberlakuan sistem bunga dalam perbankan juga menjadi daya tarik tersediri bagi masyrakat untuk ikut andil serta melakukan transaksi.

Namun, dalam prespektif islam hal ini menjadi polemik tersendiri. Sejak kelahiranya, transaksi perbankan telah mencuri banyak perhatian dan menjadi tema utama perdebatan antar ulama. Ambilah contoh praktek simpanan deposito, tak terbilang ulama yang mengharamkan praktek tersebut namun banyak juga yang menghalalkanya.

Praktek Transaksi Perbankan Dari Segi Deskripsi (التصوير) dan Aplikasi (التكييف) 

Perbedaan hukum di dalam transaksi perbankan, tentu tak luput dari sudut dan cara pandang ulama dalam melihat praktek transaksi perbankan, baik dari segi deskriptif (التصوير)  maupun aplikatif(التكييف) . Dilihat dari dua segi tersebut, praktek perbankan bisa dimasukan dalam beberapa kategori akad, diantaranya:

  1. Jika secara deskriptif praktek tersebut dikategorikan sebagai akad hutang, maka ulama berbeda pendapat didalam mengkategorikan praktek aplikatifnya. Apakah termasuk hutang uang ataukah hutang komoditas. Hal tersebut muncul karena perbedaan sudut pandang ulama dalam menilai uang kertas.

Sebagian mengatakan bahwasanya uang kertas merupakan perantara nilai tukar, sehingga masuk dalam kategori riba, karena kekuatan nilai uang kertas telah sepadan laiknya uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). Sebagian yang lain mengatakan tidak, karena uang kertas tetaplah kertas walaupun toh memiliki nilai yang sama sebagaimana dinar dan dirham. Karenanya transaksi tersebut termasuk dalam jual beli biasa.

Adapun alasan mengapa uang kertas tetap tidak bisa disamakan dengan uang emas dan perak walaupun telah memiliki nilai yang sama adalah karena emas dan perak secara fisiknya saja telah memiliki nilai jual, yakni termasuk salah satu jenis logam mulia. Sehingga nilai fisik tersebut dapat menafikan uang kertas serta komoditas lainya (bahkan uang logam dari tembaga).

قال شيخ االإسلام زكريا الأنصاري في شرح المنهاج " (وانما يحرم) الربا (في نقد) أي ذهب و فضة وغير مضروبين كحلي وتبر بخلاف العروض كفلوس وان راجت وذلك لعلة الثمنية الغالبة ويعبرعنها أيضا بجوهرية الأثمان غالبا وهي منتفية عن العروض.

وقال الزركشي في المنثور ولو راجت الفلوسر رواج النقود فهل تعطى حكمها في االربا؟ وجهان أصحهما لا، اعتبارا بالغالب. 

Karenanya syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi barang ribawi, meliputi mumatsalah, hulul, dan taqobud jika sejenis dan boleh tafadhul jika tidak sejenis tidak perlu diterapkan dalam praktek tukar-menukar uang kertas. Karena illah yang terdapat didalam emas dan perak dianggap sebagai illah qoshiroh yang hanya dimiliki oleh keduanya, dan tidak bisa diqiyaskan kepada komoditas lain. Mengutip pendapat Imam Nawawi dalam kita Al-Majmuk:

وقال الإمام النووي في المجموع "اما الذهب والفضه فالعلة عند الشافعي فيهما كونهما جنس الأثمان غالبا وهذه علة قاصره عليهما لا تتعداهما اذ لا توجد في غيرهما" اهى.  

Bahkan ulama ad-Dhohiriyah berkata: “Andaikan riba itu berlaku pada setiap barang yang dapat ditimbang dan ditakar maka Nabi SAW tentu akan bersabda: "المكيل بالمكيل والموزون بالموزون والنقد بالنقد"  karena lebih umum dan jelas, dan selaras dengan sifat Jawamik al-Kalam yang beliau miliki.” Senada dengan pendapat tersebut, al-Amir as-Shon’ani dan Ibnu Uqail menetapkan tidak adanya riba dalam uang logam (tembaga; al-Fulus) uang kertas maupun keduanya yang digunakan sebagai mata uang . Adapun Illah Riba merupakan hal yang Ta’abbudi bukan Mu’allilah.

  1. Deskriptif: al-Istitsmar. Aplikatif: Mudhorobah Fasidah. Hukumnya: Haram, boleh jika darurat

Bila tidak dalam tingkah dhoruroh, konswekensi dari akad musdhorobah fasidah adalah menyerahkan seluruh keuntungan kepada nasabah (robbul maal). Qodhi al—Iyad menyatakan hal tersebut merupakan Qoul Madzhab! Karena transaksi tersebut merupakan investasi, dan amil (dalam hal ini pihak perbankan) hanya berhak mendapatkan bagian ketika syarat terpenuhi. Tatkala akadnya rusak, sehingga syaratnya tidak terpenuhi maka amil tidak berhak mendapatkan bagian, namun ia tetap berhak mendapatkan ujroh mitsil (jasa operasional).

  1. Deskriptif: al-Istitsmar. Aplikatif: Mudhorobah Shohihah. Hukumnya: boleh

Dianggap sebagai Mudhorobah Shohihah karena sistem bunga yang diberikan mengikuti prediksi inflansi keuangan yang telah dihitung secara mendetail demi menjaga keseimbangan pasar. Dan juga karena bank pada dasarnya berbeda dengan koperasi. Bila koperasi menjalankan bisnis dan menginvestasikan uang dalam satu bidang, maka bank berbeda. Bank melakukan banyak sekali proyek investasi dalam satu waktu. Ketika salah satu proyek tersebut rugi masih ada keuntungan dari  proyek yang lain

  1. Sebagian ulama bimbang dalam mendeskripsikan praktek perbankan. Apakah istitsmar ataukah hutang, sehingga takyifnya pun syubhat. Hukumnya syubhat dan masuk dalam kategori akad syubuhaat.

Kesimpulan

Alhasil, permasalahan ini merupakan ranah yang masih dan terus diperdebatkan. Bila mengikuti hukum yang telah ditetapkan oleh syariat, maka sebuah perkara selama masih berada dalam ranah khilaf maka tidak wajib diingkari. Salah satu kaidah fikih menyatakan:

لا ينكرالمختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه  

Tak ada yang menafikan bahwa riba adalah hal yang telah disepakati keharamanya, akan tetapi untuk praktek transaksi bank sendiri merupakan hal yang masih diperdebatkan. Memang benar, meninggalkan hal yang masih diperdebatkan merupakan sebuah kesunahan, namun dilain sisi diperbolehkan pula untuk mengikuti pendapat yang memperbolehkan, sehingga segala jenis transaksi yang ia lakukan tidaklah haram.

Ada juga pendapat yang menganggap transaksi perbankan merupakan akad tamwil wa istitsmar yang merupakan akad baru dan belum pernah ada sebelumnya. Akan tetapi  hukum membuat akad baru tersebut merupakan hal yang masih diperdebatkan juga. Sebagian ulama mengatakan boleh, sebagian yang lain tidak.

Sebagai catatan, hal tersebut merupakan fatwa Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah di Mesir pada Kamis, 23 Ramadhan 1423 H yang bertepatan dengan 28 November 2002 M. Keputusan tersebut berdasarkan Hukum Perbankan Nasional Mesir dan hanya dapat diadaptasi oleh negara-negara yang menerapkan hukum serupa



Oleh: A. Rizqi, Rifaldho, A. Fauzan

Write a comment